Merajut Imajinasi Keberagaman Yogyakarta

01.17 Unknown 1 Comments

Masjid Gedhe Keraton 

Yogyakarta merupakan salah satu kota yang memiliki tingkat keragaman tinggi di Indonesia, khususnya Jawa. Oleh karena itu diperlukan manejemen tentang keberagaman yang mampu bersinergis dengan kebijakan pemerintah maupun budaya masyarakat setempat. Berdasarkan penelitian sejarah Yogyakarta, Dosen Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universita Atma Jaya Yogyakarta, Argo Twikromo menyatakan tahapan sejarah pada masa lalu, telah membentuk unconsiusness contruction of diversity atau konstruksi di bawah alam masyarakat Yogyakartasadar terhadap keberagaman. Hal itu meliputi bagaimana masyarakat hidup dalam konstruksi keberagaman dan perkembangan pengelolaan keberagamaan hingga sekarang.
Demikian dijelaskan dalam Wednesday Forum, Rabu (20/3) yang diselenggarakan oleh Indonesian Consortioum of Religious Studies (ICRS) dan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada kesempatan tersebut. Argo Twikromo menerangkan konteks sejarah di Yogyakarta yang akan sangat mempengaruhi kontruksi alam bawah sadar masyarakat. Konteks sejarah tersebut antara lain pembagian unit pemukiman, unit militer, kampung kauman, serta berdirinya Universitas Gadjah Mada.
Lebih lanjut, Twikromo memaparkan kebijakan Keraton Yogyakarta memperbolehkan penggunaan lahan untuk pemukiman bagi warga asing. Seperti wilayah Kota Baru yang dihuni oleh warga Eropa dan Ketandan oleh warga Cina. Hal lain yang dipertimbangkan adalah  keberagaman dalam unit kemiliteran. Pasukan militer tidak hanya berasal dari Jawa, tetapi juga Bugis. Bahkan terdapat cerita, Sultan Yogyakarta memberikan anugerah gelar kepada seorang Kapten Cina bernama Tan Jin Sin dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Setyodiningrat (1760-1831). 
abdi dalem di Keraton Yogyakarta
“Sultan merespon keberagaman dengan mengundang perwakilan raja atau suku dari negara lain dalam ritual gerebeg. Bagi mereka yang melihat kirab gerebeg, maka secara tidak langsung akan terbangun kesadaran bahwa adanya berbagai macam  suku maupun budaya di luar Jawa. Hal itu akan mempengaruhi bahkan membentuk emosi dan pemahaman masyarakat tentang keberagaman,” terang Twikromo.
Keraton sebagai cermin masyarakat, sebagaimana terlihat dalam gambar-gambar perarakan perayaan Garebeg dalam buku yang berjudul Den Garebeg Optoct van den Sultan van Djogjokarta at 5 May 1857, menggambarkan berbagai suku bangsa yang diundang dan hadir dalam perarakan upacara gerebeg, antara lain suku Amfoang (Timor), Amarasi (Timor), Solor, dan Rote dari Timur Indonesia serta suku Sunda dan Madura, juga ditunjukkan warga Belanda, Arab dan Cina dalam rombongan gerebeg. Konteks yang demikian menjelaskan dukungan pemegang kekuasaan melalui pendidikan sosial tentang keberagaman kepada penduduk setempat. “Bagi saya, diversity (keberagaman) itu persoalan mindset,” tegas Twikromo.
Diskusi menjadi semakin menarik ketika pengalaman keberagaman di Yogyakarta dibandingkan dengan di Solo. Twikromo mengungkapkan, Solo sebenarnya juga memiliki latar belakang pengalaman yang hampir sama sebagai masyarakat yang plural. Hal itu berlangsung hingga sekarang, misalnya Kho Tjien Tiong, atau dikenal dengan Teguh Slamet Rahardjo, merupakan warga cina yang menciptakan panggung Srimulat. Padahal, Srimulat merupakan hiburan lawak dengan konteks budaya jawa yang sangat kental.
“Namun mengapa di Solo terjadi beberapa kerusuhan. Hal ini menarik bagi saya. Mungkin, karena di sana pernah terjadi tragedi Geger Pecinan yang juga mempengaruhi alam bawah sadar masyakarat dalam merespon keberagaman. Meskipun sebenarnya warga Cina hanya salah satu dari empat kelompok yang terlibat dalam tragedi tersebut,” tutur Twikromo.
Oleh karena itu, menurutnya, pendidikan sosial budaya tentang kebaragaman sangatlah penting. Kemudian, berdirinya Universitas Gajah Mada pada tahun 1949, memberikan efek yang sangat kuat terhadap relasi sehari-hari masyarakat dalam mengelola keberagaman. Twikromo menekankan bahwa konteks sejarah telah membangun konstruksi keberagaman, yang tentunya telah dibingkai dalam proses yang panjang.
Berdasarkan konteks keberagaman yang kaya tersebut, maka dibangun citra tentang Yogyakarta sebagai kota sepeda (pada waktu lampau), kota pendidikan, kota perjuangan, kota budaya, kota pariwisata, “berhati nyaman” dan “kota toleransi”. Namun sayangnya, akhir-akhir ini ditemui bentuk keberagaman yang semakin sempit. Twikromo menunjukkan kepada peserta Wednesday Forum, beberapa gambar yang mengungkapkan kecenderungan tersebut, seperti perumahan, pemakaman, dan kos-kos yang hanya khusus diperuntukkan satu pemeluk agama tertentu.
Hal itu mengundang berbagai tanggapan dari peserta diskusi. Salah satunya Leonard C. Epafras menanyakan tentang batas kebijakan tentang pengelolaan keberagaman. Hingga saat ini, warga Cina tidak diperbolehkan memiliki tanah di Yogyakarta. Mereka hanya memperoleh hak guna bangunan. Beberapa peserta diskusi juga kurang setuju jika Yogyakarta dibandingkan dengan Solo. Selain Solo dan Yogya sebelumnya adalah di bawah satu kerajaan yang sama, tetapi juga saat ini Solo merupakan kota yang memberikan ruang kepada keberagaman dengan tidak kalah baik dari pada Yogyakarta.
Twikromo mengaku bahwa secara detail pihaknya tidak tahu banyak tentang kebijakan kepemilikan tanah. Namun, pembagian tempat pemukiman penduduk selain mengakui adanya ‘pihak lain’ sebagai bagian dari keberagaman, tetapi juga berdampak bahwa seseorang hidup dikotak-kotakkan di dalam keberagaman. Sayangnya saat ini, tidak ditindaklanjuti dengan perundang-undangan yang kuat dalam melindungi pengakuan keberagaman yang setara. Maka dari itu, sangat penting dikembangkan perlindungan nyata terhadap keberagaman.
Terkait perbandingan kedua kota yang di sebut di atas, Twikromo berargumen bahwa perbandingan tidak dimaksudkan untuk menunjukkan satu lebih baik dari yang lain. Namun lebih pada usaha untuk memberikan pemahaman bahwa ‘ingatan masa lalu’ seringkali memberikan pengaruh unconciousness untuk mengakui ‘yang lain’.  “Akhirnya, unconsiousness condition menjadi kontruksi bagaimana masyarakat mengalami keberagaman. Kita memiliki pengalaman, khususnya konteks sejarah Yogyakarta. Hal itu tetap hidup di bawah alam sadar kita. Yang kemudian diberikan kepada anak cucu kita hingga sekarang,” kata Twikromo. (Mahmudatul Imamah/CRCS UGM)

You Might Also Like

1 komentar: